Kriptopedia — Pendiri Strategy (dulu MicroStrategy), Michael Saylor, mengungkapkan bahwa kekacauan ekonomi akibat pandemi COVID-19 dan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat menjadi pendorong utama dirinya untuk berinvestasi di Bitcoin pada tahun 2020.
Dalam sebuah wawancara bersama psikolog dan tokoh intelektual Jordan B. Peterson yang tayang pada Senin (10/6), Saylor menyebut bahwa keputusannya untuk masuk ke dunia kripto berawal dari keresahannya terhadap apa yang ia sebut sebagai “perang terhadap mata uang” selama masa lockdown global dan pelonggaran suku bunga ekstrem di AS.
“Ini bukan soal perang melawan COVID, tapi perang terhadap mata uang,” ujar Saylor dalam wawancara tersebut.
Dalam email yang ia kirimkan kepada para karyawan MicroStrategy kala itu, Saylor menyebut pembatasan COVID-19 sebagai kebijakan yang “menguras jiwa dan melumpuhkan,” merujuk pada isolasi sosial dan “hibernasi ekonomi” yang harus dijalani masyarakat.
Ia menggambarkan tahun 2020 sebagai momen “percabangan antara Main Street dan Wall Street” – di mana bisnis kecil dan menengah serta para pekerja hancur akibat penutupan paksa toko dan kantor, sementara investor besar dan para pemain Wall Street justru meraup keuntungan besar.
Saat itu, MicroStrategy memegang cadangan kas sebesar US$500 juta. Namun, dengan suku bunga mendekati nol akibat intervensi The Fed, dana tersebut nyaris tak menghasilkan apa-apa.
“Bank sentral mencetak uang dan memaksa suku bunga turun,” kata Saylor, menegaskan bahwa kebijakan tersebut membuat uang tunai kehilangan daya gunanya.
Gejolak Uang dan Kebijakan Ekstrem
“Lockdown terjadi dan menimbulkan kepanikan besar-besaran,” ujar Saylor. “Yang paling menyimpang dari semua ini adalah kenyataan bahwa pasar saham justru pulih di pertengahan 2020 karena The Fed mencetak uang dalam jumlah luar biasa.”
Menurutnya, dunia mengalami “hiperinflasi aset finansial,” yang memperkaya para manajer investasi dan trader saham, sementara pelaku usaha riil menderita.
“Uang saya (kas perusahaan) menjadi aset yang tidak menghasilkan,” ujarnya. “Saya dihadapkan pada dua pilihan: mati cepat atau mati perlahan. Maka, saya harus memilih—memilih pihak mana yang akan saya dukung.”
Pencarian Aset Pelindung Nilai
Saylor mengaku tak rela kehilangan hasil kerja kerasnya selama puluhan tahun. “Saya butuh aset yang bisa menyimpan energi ekonomi saya untuk jangka panjang,” ujarnya.
Ia mempertimbangkan berbagai jenis aset: properti, saham, bahkan karya seni koleksi. Namun, dua yang pertama sudah melejit akibat suku bunga nol, dan yang terakhir sulit diakses.
“Bagaimana mungkin saya bisa mendapatkan US$500 juta dalam bentuk lukisan Picasso dan Monet yang harganya masuk akal?” sindirnya.
Jawaban yang ia cari akhirnya datang dari Bitcoin.
Awal Mula Masuk ke Bitcoin
Di tengah kekhawatirannya melihat ketimpangan ekonomi yang makin lebar, Saylor menghubungi temannya, Eric Weiss, pendiri Blockchain Investment Group, dan mulai menggali dunia kripto yang sebelumnya ia anggap sebagai “scam coin” saat bear market 2018.
Ia mulai belajar melalui YouTube, podcast, dan buku. Menurutnya, Bitcoin adalah solusi: “alat penyimpan nilai yang tidak dikontrol oleh negara, mirip emas, tetapi dalam bentuk digital.”
Pada Agustus 2020, MicroStrategy membeli 21.454 BTC senilai US$250 juta, menjadikannya salah satu langkah paling fenomenal dalam sejarah korporasi modern.
Kini, perusahaan tersebut menjadi pemegang Bitcoin korporat terbesar di dunia, dengan kepemilikan sekitar 582.000 BTC senilai lebih dari US$63 miliar, berdasarkan data dari Saylor Tracker.
Langkah Saylor bukan hanya mengubah arah MicroStrategy, tetapi juga membuka jalan bagi banyak perusahaan lain untuk mempertimbangkan Bitcoin sebagai aset cadangan strategis di era ketidakpastian ekonomi global.